Itulah kilasan prosesi pembakaran atau pengabenan yang disebut upacara nyomnya terhadap sembilan ulat bulu yang bertempat di monument PAN Am tepi Pantai Padanggalak Denpasar Timur, pada Kamis 28 April 2011 sore.
Hanya saja yang diaben bukanlah ulat sesungguhnya, namun sebuah simbol atau gambar mirip ulat bulu. Gusti Ngurah Mendra, selaku ketua pelaksana dalam upacara mengatakan, nyomnya dilakukan untuk mengharap berkah terkait keberadaan ulat bulu yang sempat meresahkan. “Tujuan dari upacara ini adalah agar ulat bulu yang sebelumnya mengganggu tidak ada lagi dan diganti dengan ulat yang bermanfaat seperti ulat sutra,” katanya ditemui di lokasi.
Menurutnya upacara yang kali pertama dilakukan untuk ulat bulu itu layaknya upacara pengabenan manusia, semua perlengkapan upacara yang ada di pengabenan manusian juga ada di pengabenan ulat tersebut.
Ide dasarnya, kata dia, berasal dari Persatuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat dan Bali, serta Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali . Bukan hanya itu saja hal itu juga berdasarkan kaidah adat dan budaya agama yang sudah lama ada. “Dalam konsep Lontar Roga Sanghara Bhumi juga dijelaskan mengenai hal itu, apalagi ulat juga punya roh, makanya kita lakukan nyomnya,” terangnya.
Dalam pengabenan itu setidaknya ada sembilan bentuk (gambar) yang disimbolisasikan sebagai ulat. Nah sembilan ulat yang melambangkan sebagai sembilan arah mata angin itulah yang nantinya akan diaben untuk selanjutnya dilarung ke laut.
Upacara yang pertama, awalnya simbolisasi ulat-ulat yang belum ada rohnya itu disembahyangi. Setelah diupacarai, ke semibilan ulat yang mirip ulat bulu yang menempel di dalam pralingga ini kemudian ke tepi Pantai Padanggalak untuk dipanggil rohnya.
Usai ritual tersebut, ke sembilan ulat itu kemudian dibawa ke tempat semula untuk selanjutnya dibakar dan kemudian dilarung ke laut. Upacara ini berlangsung sekitar satu jam. Upacara itu kemudian dirangkai dengan upacara nangluk merana yang akan berlangsung pada tanggal 1 Mei mendatang.
Sekedar diketahui upacara mengaben binatang ini sejatinya sudah sempat dilakukan Desa Cemagi Mengwi, Badung. Hanya saja upacara yang dilakukan adalah mengaben bintang seperti tikus. Ritual ini dikenal sebagai upacara ‘Mirateka Marana Tikus’. Kegiatan ini dilakukan untuk mengusir hama tikus di area persawahan petani.
0 comments:
Post a Comment